Fenomena ini menarik perhatian berbagai kalangan, mulai dari pemilik tempat makan, pelanggan, hingga profesional di bidang kuliner. Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui sejarah food vlogger. Istilah "food vlogging" berasal dari video blogging, dan food blogging sendiri sudah ada sejak lama. Blog makanan pertama kali diperkenalkan oleh Jim Leff pada Juli 1997 sebagai fitur di situs web Chowhound, bertajuk "What Jim Had for Dinner". Leff membuat katalog makanan yang ia santap setiap hari dalam blognya.
Di Indonesia, komunitas food blogger sudah ada sejak tahun 2011, dengan berdirinya Indonesian Food Blogger (IDFB) yang didirikan oleh lima food blogger populer, salah satunya Andrie Anne. Komunitas ini bertujuan untuk menjadi wadah tukar informasi antar food blogger.
Dalam video mereka, food vlogger biasanya menunjukkan proses pembuatan makanan dan cuplikan dramatis dari makanan tersebut. Mereka makan di depan kamera sambil berbagi pengalaman tentang rasa makanan, layanan, dan suasana restoran. Sementara itu, food blogging merupakan fitur jurnalisme makanan yang menghubungkan minat pada makanan, fotografi makanan, dan sejarah makanan.
Menurut Alexander Chrisse Ginting Munthe, seorang instruktur kuliner dan tutor di KBM Forum Lintas Batas Universitas Terbuka, food vlogger memiliki dua sisi: positif dan negatif. Dari sisi positif, food vlogger membantu pelaku bisnis kuliner mempromosikan tempat makan mereka dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang tempat makan yang sedang viral atau memiliki keunikan tersendiri.
Namun, ada juga sisi negatifnya. Food vlogger sering memberikan ulasan yang sangat baik, tetapi ketika pelanggan berkunjung, pengalaman mereka tidak sesuai dengan yang disampaikan. Hal ini dapat menyebabkan tempat makan sepi pengunjung hingga terpaksa menutup usaha.
(Reporter: Rajab Tarigan / Editor: Anto)
Sumber asli: https://suaramedannews.com/alexander-ginting-munthe-food-vlogger-belajar-dulu-gastronomi-tata-boga/