Pemerintah AS akan menerbitkan pedoman kredit?á pajak bagi produsen baterai dan kendaraan listrik di bawah Undang-Undang Pengurangan Inflasi dalam beberapa minggu ke depan. Undang-Undang ini mencakup US$ 370 miliar dalam subsidi untuk teknologi energi hijau.
Namun, komponen baterai dari Indonesia dikhawatirkan tetap tidak?á memenuhi syarat untuk kredit pajak?á Inflation Reduction Rate (IRA) secara penuh. Karena, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri nikel.
Menanggapi sikap AS terhadap mineral kritis dari Indonesia, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey ?ámengutarakan, sejauh ini memang lebih banyak investor dari Tiongkok yang mengolah mineral kritis Indonesia dibandingkan negara lain, termasuk Eropa dan Amerika Serikat. Padahal, pabrik Original Equipment Manufacturer (OEM) terbesar ada di Eropa dan AS. Pangsa pasar terbesar juga ada di Eropa dan AS. Sedangkan Eropa dan AS membutuhkan nikel dari Indonesia sebagai bahan baku baterai untuk kendaraan listrik, dalam rangkagreen energy.
Menurut Mediy, Indonesia juga harus memperhatikan persoalan lingkungan. Jika dikaitkan dengan pemberikan insentif dari Pemerintah AS dalam rangkagreen energymenujurenewable energy, dia mempertanyakan, apakah nikel Indonesia sudah layak menerima insentif dari Pemerintah AS. Karena industri nikel, baik dari hulu maupun hilir, apakah sudah sesuai dengan konsep green energy, seperti dari konsep good mining practice, environment social governance (ESG), hingga life cycle assesment (LCA) dengan Undang-Undang IRA.
Sumber asli: https://nikel.co.id/2023/04/10/as-kucilkan-nikel-indonesia-ini-pandangan-kemendag-dan-apni/