Hiruk pikuk tahun politik menjelang pemilu 2024 sangat terasa, baik di ruang-ruang elit hingga ke ruang publik, seperti perkantoran, tempat ibadah, gerai hiburan, lapak kaki lima, hingga rumah tangga. Setiap hari, pemberitaan media yang cukup masif menambah semarak suasana. Sejak usulan hingga penetapan capres-cawapres, tidak ada yang mulus tanpa menyisakan keributan atau gaduh, meskipun tidak berlangsung lama.
Apakah ini adalah alam demokrasi kita yang menyatakan sah-sah saja jika segala sesuatu lebih baik ribut di hulu atau geger dulu, dengan catatan jangan sampai mengarah ke konflik horizontal? Terbaru, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan soal batas usia minimal capres-cawapres dan tambahan klausul mengenai pengalaman di pemerintahan memantik khalayak untuk memanjakan opini, komentar, tanggapan, serta reaksi pro dan kontra.
Ada yang menyatakan keputusan tersebut tidak sah, tetapi ada pula yang menganggapnya sah. Perbedaan pendapat boleh, memiliki alasan lain juga tidak dilarang, dan memiliki pandangan baru pun tidak masalah. Semua pendapat memiliki kanalnya. Di negeri ini, banyak orang pandai dan ahli. Ketika muncul problema baru, isu baru, seharusnya tidak disambut dengan keributan, melainkan lebih bermakna jika semuanya duduk bersama, rembugan, dan mencari formula solusi terbaik agar tidak rentan konflik.
Kita sering kali hanya menyoal hal-hal kecil dan sederhana yang bisa saja dibesar-besarkan, tetapi sering lupa akan persoalan besar yang menindih kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Partai politik (parpol) atau para calon legislatif (caleg) bisa mengeluarkan dana fantastis untuk sosialisasi, kampanye, dan agenda lain untuk memenangkan kontestasi capres-cawapres, tetapi menghentikan gelombang angka kemiskinan dan korupsi belum sepenuhnya bisa, seolah menjadi narasi yang terus berulang.
Memang, fokus antara pemilu, parpol, kemiskinan, dan korupsi berbeda, tetapi muaranya kita mesti cakap mengurus negara, bukan menguras negara. Di sisi lain, pemerintah bergiat memberikan bantuan rice cooker bagi masyarakat miskin, tetapi persoalan intinya bukan kekurangan alat memasak, melainkan bagaimana kaum miskin bisa memasak ketika harga beras dan cabai melangit.
Pertanyaan atas relevansi dan ketepatan peluncuran stimulan menjadi urgen, terutama ketika negara juga sedang menyediakan anggaran pemilu. Kebijakan yang memiliki tujuan baik pun tak ayal menuai kritik, bahkan caci maki, polemik, apalagi apriori. Namun, semua itu tentu ada pelajaran penting yang menuntun kematangan dan kedewasaan berpikir kita.
Kerap kita dipertontonkan oleh para elite di forum sidang dewan atau saat talkshow di layar televisi yang terlihat sibuk ribut dan selalu bersebrangan, tetapi ketika keluar ruangan, mereka justru ngopi bareng, bercanda, dan tertawa kolektif. Ini menimbulkan tanda tanya atau praduga di kalangan masyarakat. Praktik demikian layak diacungi jempol; di dalam arena itu lawan, tetapi di luar tetap kawan dan saudara.
Bersikap kritis boleh, berlaku skeptis pun tidak tabu. Mengapa kita suka dengan iklim yang seakan-akan terjadi geger genjik yang tidak ketulungan, dan ternyata gegeran akhirnya berujung pada tawa? Itu masih lebih baik ketimbang seumur hidup hanya ribut melulu. Misterikah? Hanya kita yang bisa menjawabnya.
Di sisi lain, saat salah satu kader dari satu parpol dijagokan parpol lain dalam capres-cawapres, riuhnya luar biasa, baik di dunia maya maupun di jagat nyata. Ada yang membahas soal etika politik, kesetiaan, dan pengkhianatan, tetapi ada juga anggapan bahwa jika seperti itu, artinya kadernya laku, punya potensi, dan menjadi aset bangsa.
Atau, saat sudah kenal, dekat, bahkan pacaran, tetapi terlampau lama menunggu kepastian dipinang, salah satu pasangan membuat jarak hingga putus tanpa LDR. Kadang kita merasa sayang, masyarakat kita tenang-tenang saja, akur-akur saja, tetapi parpol dan media sering berbuat beda. Jika hidup kita habis untuk mengomentari orang lain, kapan waktu kita untuk memperbaiki diri? Kita tidak sepenuhnya bisa membaca dan memahami nalar publik di tahun politik ini. Kita telah, sedang, dan akan terus berproses, sebelum akhirnya terjun pada bidang atau passion masing-masing. Akankah kita cukup layak dicalonkan menjadi pemimpin? Apakah kita juga cukup layak untuk dipilih? Semua berpulang kepada rakyat.
**Penulis, ASN Bapenda Provinsi Jawa Tengah**
Sumber asli: https://www.balipost.com/news/2023/11/09/372542/Konsep-Otomatis.html