Orang tua lain, Arinendro, juga mengungkapkan anaknya dikeluarkan karena dianggap tidak mampu mengikuti pelajaran, meski sebelumnya diterima berdasarkan nilai UN yang memadai. Ia mengklaim bahwa program inklusi seharusnya ada di sekolah tersebut, namun ditolak pihak sekolah. Akibatnya, anaknya hingga kini belum bersekolah kembali.
Pihak sekolah melalui Kepala Sekolah, Idris, menyatakan bahwa kebijakan ini berdasarkan pertimbangan guru dan hasil observasi guru BK. Beberapa siswa disarankan bersekolah di sekolah inklusi karena keterbatasan kemampuan belajar. Idris menambahkan bahwa keputusan ini sudah diketahui oleh komite sekolah.
Dinas Pendidikan Lamongan melalui Kabid SMP, Chusnu Yuli, belum memberikan pernyataan rinci karena sedang mengikuti kegiatan workshop.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi, empati, dan pendekatan inklusif dalam dunia pendidikan, terutama dalam menangani siswa dengan kebutuhan khusus atau masalah sosial pribadi.