Kondisi seperti itu, barangkali menjadi salah satu sebab, mengapa Gubernur Wayan Koster melarang orang mendaki gunung (kecuali untuk kepentingan upacara). Alasan yang pasti adalah Wana Kerthi tidak dimaksudkan sebagai filosofi semata, tetapi terimplementasikan dalam menjaga alam, manusia dan kebudayaan Bali.
Kalau di Kalimantan, hutan sengaja dibakar untuk memperluas lahan pertanian masyarakat, atau merupakan teknik yang paling murah bagi oknum pengusaha Hak Pengelolaan Hutan (HPH) untuk memperluas tanaman komoditas usaha mereka. Sedangkan yang di gunung Bromo Jawa Timur, dipicu oleh ulah kreativitas konyol usaha foto prewedding.
Semua itu, merupakan dampak negatif dari ulah manusia dalam memenuhi kebutuhan ekonominya secara egois.
Baca juga:
Sejumlah Titik Hutan Lindung di Desa Kutuh Terbakar
Mereka memang tidak memiliki filosofi Tri Hita Karana, tapi seharusnya mereka paham bahwa lingkungan hijau, menjadi kebutuhan manusia, baik kini maupun di masa yang akan datang.
Ekonomi hijau sebetulnya menjadi orientasi pembangunan ekonomi global secara berkelanjutan. Ekonomi hijau secara makro bahkan terprogram dalam Sustainable Development Goal?ÇÖs (SDG?ÇÖs) dan secara mikro menjadi motto perusahaan yang bertujuan untuk tidak saja mencari untung, tetapi juga memperhatikan
kepentingan manusia secara keseluruhan dan alam semesta.
Sumber asli: https://www.balipost.com/news/2023/09/16/362453/Ekonomi-Hijau-dan-Kebakaran-Hutan.html