Adik mengungkapkan bahwa kondisi ini sangat kontras dengan sejarah Indonesia sebagai produsen tebu terbesar dan eksportir gula terbesar di dunia pada tahun 1930-an, ketika lahan perkebunan tebu hanya seluas 200 ribu hektare. "Dengan 500 ribu hektare, seharusnya kita bisa memenuhi kebutuhan gula konsumsi dalam negeri yang mencapai tiga juta ton," ujarnya.
Ia juga mencatat bahwa pada tahun 2013, Indonesia mengalami surplus gula dan bahkan melakukan ekspor, namun saat ini produksi gula mengalami kekurangan. Oleh karena itu, Adik meminta pemerintah untuk fokus pada intensifikasi lahan tebu yang ada, alih-alih ekstensifikasi atau penambahan lahan baru.
Adik menekankan perlunya riset untuk intensifikasi lahan tebu, yang mencakup pengolahan lahan, penggunaan pupuk, dan pemanfaatan teknologi yang tepat. "Dengan adanya teknologi terbaru, diharapkan produksi gula di Indonesia dapat kembali membaik," terangnya.
Pernyataan Adik disampaikan saat menghadiri pameran alat pertanian Sugarex Indonesia, yang diikuti oleh 87 peserta dari 7 negara, dan diselenggarakan oleh PT Fireworks Indonesia bekerja sama dengan Kadin Jatim. Direktur Utama PT Fireworks Indonesia, Susan Tricia, juga menyoroti bahwa produksi gula di Indonesia dapat bervariasi setiap tahun, tergantung pada faktor-faktor seperti cuaca, kebijakan pemerintah, dan kondisi ekonomi.