Kuningan, Momentum Penguatan Dharma

Wilayah
Bali
Kategori
Opini
Penulis
Tidak diketahui
Tanggal
2023-08-14
Views
0
Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Mengacu Tri Kerangka Agama Hindu, tahapannya dimulai dari Tattwa (teologi, filosofi, mitologi), lanjut diperilakukan berlandaskan Susila (etika) dan kemudian diwujudnyatakan melalui Acara ; ada upacara, lengkap dengan upakara, berbahan uparengga (material) dengan hasil berupa tampilan berbagai aneka jenis sesaji (bebanten). Serupa dengan pandangan Koentjaraningrat (1995) perihal (3) tiga wujud kebudayaan, bahwa segala sesuatu itu diawali dari ?ácetusan ide/gagasan lalu diperilakukan sampai akhirnya berwujud benda (artefak). Ilustrasinya, ketika seseorang mempunyai ide membuat Penjor misalnya,?ámewujudkannya diperlukan berbagai tindakan (mengumpulkan bahan kelengkapan), baru dikonstruksi hingga menjadi Penjor.

Begitupun setiap aktivitas ritual Hindu seperti halnya hari suci ?áKuningan, kelanjutan ?árangkaian Galungan yang sebenarnya memiliki durasi pelaksanaan selama enam puluh (60) hari. Dimulai Tumpek Wariga/Tumpek Bubuh (25 hari sebelum Galungan) hingga Budha Kliwon Pegat Wakan (35 hari pasca Galungan) sebagai penutup ritual. Kesemua rangkaian upacara yadnya terkait Galungan-Kuningan ini mengandung nilai Tattwa dan Susila, meski kebanyakan umat hanya mengetahui dan melaksanakannya dari sisi Acara atau ritual semata. Anggapannya, dibalik ritual simbolik upakara bebanten, secara implisit sudah terkandung makna tattwa dan susilanya. Jika lebih jauh ditanya, umumnya dijawab dengan gugon tuwon anak mule keto, sebagai isyarat untuk tidak perlu menanyakan lagi secara mendalam.

Baca juga:

Mengenal Ngelawang, Tradisi Mengarak Barong Keliling Desa saat Galungan dan Kuningan

Setali tiga uang dengan ritual Kuningan, lazim dipahami sebagai rangkaian akhir pelaksanaan Galungan. Apalagi merujuk suratan lontar Sundarigama : ?ǣSaniscara Kliwon Kuningan tumurun wateki dewata kabeh mwang sang Dewa Pitara, asuci laksana, pakenanya ngening-ngening akna citta nirmala tan pegating samadhi?Ǫ.?ǥ (Sabtu Kliwon Kuningan, saat itu turun para Dewata dan roh-roh suci leluhur, sucikanlah perbuatan, selalu memurnikan diri, menyucikan pikiran tiada henti memusatkan pikiran pada Tuhan (samadhi)?ǥ. Usai menerima persembahan dan memberikan anugerah Beliau digambarkan akan kembali menuju Kahyangan (Swah loka). Meninggalkan umat manusia untuk selanjutnya bertanggung jawab atas kehidupannya di muka bumi ini.

Dalam konteks pemahaman personal God (Saguna Brahman) timbul pertanyaan, ?Ç£sepeningggal?Ç¥ Tuhan, akankah manusia kehilangan spirit ketuhanannya? Beragama tetapi menjauh dari karakteristik dharma yang kental dengan sifat kedewataan (daiwi sampat). Atau justru yang tampil dan eksis sifat dan watak adharma berkarakter keraksasaan (asuri sampat)? Saat?áhari suci Kuningan pada Sabtu Kliwon wuku Kuningan (12/8) inilah menjadi momentum penting bagi umat Hindu untuk lebih menguatkan posisi dharma dalam diri agar tidak mudah rapuh apalagi sampai runtuh dikendalikan adharma. Hanya dengan begitu, obsesi menaikkan derajat dan harkat sebagai manusia (manawa) meningkat ke level Dewata (madhawa) dapat tercapai, tidak malah terjerembab bertransformasi sebagai sosok bertipikal raksasa (danawa).

Sumber asli: https://www.balipost.com/news/2023/08/14/355865/Kuningan,Momentum-Penguatan-Dharma.html

Tags: suci ritual dharma kuningan galungan