Kondisi ini menyebabkan kebakaran lahan yang semakin mudah terjadi, termasuk kebakaran di beberapa Tempat Pembuangan Akhir (TPA), seperti TPA Suwung yang telah terbakar selama lebih dari dua minggu. Akibatnya, pemerintah tampak tak berdaya menghadapi situasi darurat sampah yang menumpuk di berbagai lokasi.
Widana mencatat bahwa Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) yang dibangun untuk mengatasi masalah sampah ternyata tidak berfungsi dengan baik. Bank Sampah yang diharapkan menjadi solusi juga tidak mampu membantu. Pemandangan kota menjadi kotor dan kumuh, jauh dari kebersihan dan kesehatan. Konsep Hindu "Sauca" yang mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan belum menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk hidup bersih dan sehat.
Ia mengingatkan bahwa ajaran "Tri Hita Karana" sering kali terbalik menjadi "Tri Kite Karana," di mana masyarakat dengan santai membuang sampah sembarangan. Masalah sampah yang awalnya dianggap sepele kini menjadi tantangan besar bagi pecinta kebersihan dan keindahan.
Widana merujuk pada kitab suci Atharwaweda yang menyatakan bahwa manusia dan makhluk hidup lainnya akan hidup selamat jika kebersihan atmosfer dijaga. Ia juga mengaitkan hal ini dengan wacana BCG (Bali Clean and Green) yang kini semakin meredup. Dengan kondisi darurat sampah yang melimpah, Bali berisiko berubah menjadi "BCC" (Bali Compang Camping) yang kotor dan kumuh.
Ia menekankan bahwa sampah seharusnya bisa menjadi berkah, tetapi terus menjadi masalah. Para pemimpin daerah, dari level bawah hingga tinggi, tidak boleh merasa sukses sebelum berhasil mengatasi masalah sampah. Selain itu, ada persoalan lain yang lebih mengancam integritas bangsa, seperti pungli, kolusi, dan korupsi. Oleh karena itu, terkait masalah sampah, para pemimpin memiliki dua opsi: menyerah atau menjadikannya berkah, sebelum masyarakat kehilangan kepercayaan.
Penulis adalah Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar.
Sumber asli: https://www.balipost.com/news/2023/11/20/374276/Masalah-Sampah,Nyerah-atau-Jadikan...html