Awalnya, pajak hiburan diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 (UU PDRD), dengan tarif bervariasi:
Maksimal 35% untuk hiburan seperti film dan pameran,
Maksimal 75% untuk hiburan seperti diskotik, karaoke, dan spa,
10% untuk kesenian rakyat.
Namun, aturan ini diubah oleh UU No. 1 Tahun 2022 (UU HKPD) menjadi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) Jasa Hiburan, dengan tarif baru:
Maksimal 10% untuk hiburan umum (film, pameran),
Minimal 40% hingga maksimal 75% untuk hiburan seperti diskotik, karaoke, dan sejenisnya.
Perubahan tarif ini menimbulkan perdebatan publik, karena dinilai dapat mengurangi minat masyarakat dan merugikan pelaku usaha hiburan. Penulis mengaitkannya dengan Teori Laffer, yang menyatakan bahwa tarif pajak yang terlalu tinggi bisa menurunkan penerimaan karena menurunnya aktivitas ekonomi.
UU HKPD memberikan fleksibilitas kepada pemerintah daerah untuk menetapkan tarif serta memberikan insentif fiskal sesuai kebutuhan daerah. Oleh karena itu, perlu analisis mendalam untuk menentukan tarif pajak hiburan yang ideal?ó?é¼?Ç¥tidak memberatkan masyarakat dan pelaku usaha, namun tetap mendukung kemandirian fiskal daerah.
Sumber asli: https://www.balipost.com/news/2024/01/30/385588/Menjawab-Diskursus-Pajak-Hiburan.html