“Tentu saja kita akan melihat maksud tujuan, niatnya niat baik sekali itu di TKDN. Bahwa TKDN ini perlu, sangat perlu, cuma kita juga harus mengukur kapasitas dan kemampuan kita sendiri. Kemudian jangan sampai TKDN itu menjadi pendapatan, kemudian hight cost. Untuk itu kita perlu lihat road map sehingga road map masing-masing industri itu kesiapannya untuk TKDN itu kapan saja. Itu yang perlu kami arahkan yang perlu kami ingatkan,” sebut Arifin saat Raker tersebut.
Menurutnya, perlunya kementerian dan DPR RI memperhatikan kecepatan negara-negara luar dalam melakukan transisi energi. Kemudian penerapan mekanisme transponder raport, yang nanti ada pajak raport jika ada yang ingin melakukan transaksi perdagangan karbon. “Jangan sampai nanti produk-produk industri kita itu terbebani oleh pajak karbon sehingga kita tidak kompetitif jadi lebih mahal,” ujarnya.
Dia juga menjelaskan bahwa semua kementerian mewakili pemerintah bertemu dengan Komisi VII DPR RI dalam rangka membahas rancangan UU energi baru dan energi terbarukan (EBET) untuk pemanfaatan yang lebih optimal. “Sebenarnya niat kita ada di sini untuk mendorong bagaimana kita bisa mengoptimalkan potensi dan kemampuan dalam negeri itu sendiri,” jelasnya.
Anggota Komisi VII DPR RI, Dyah Roro Esti, mengatakan bahwa energi baru terbarukan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, namun dalam realisasinya masih sangat kecil. Oleh karena itu, JETP (Kemitraan Transisi Energi yang Adil) untuk Indonesia memiliki banyak potensi bantuan dari 5 negara. “Indonesia ini sangat disorot oleh dunia luar internasional. Saya rasa, ini sebuah momentum yang sangat luar biasa,” kata Roro seirama dengan Menteri Arifin Tasrif dalam acara tersebut.
Dia berharap bahwa sistem pendanaan, sistem realisasi, pemantauan, dan pengawasan dapat dilakukan oleh sebuah badan khusus yang bisa mengetahui seluruh kegiatan dari sektor ini. “Saya ingin agar kami dengan pemerintah lintas kementerian ini mempunyai jalan keluar yang optimal,” ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, Mulyanto, mengungkapkan dua hal penting, yakni Rancangan Undang-Undang (RUU) EBET dan TKDN. “Pertama saya ingin agar UU ini goal, sukses tidak ada aral melintang atau berujung masuk MK - Judicial Review,” ungkap Mulyanto dalam Raker antara Wakil Pemerintah dan Komisi VII DPR RI.
Dia menjelaskan bahwa secara umum, UU ini bersifat teknis, kecuali satu hal, yakni power wheeling, yang menjadi permasalahan ketika pemerintah menyerahkan transmisi yang dikuasai oleh negara kepada PLN dan dibuka ke publik. “Swasta masuk di luar kendali dan ini yang menjadi permasalahan. Konstitusi kita dalam UU ketenagalistrikan sudah menjelaskan bahwa sistem kelistrikan kita terintegrasi. Negara menguasai sektor kelistrikan karena hal ini adalah soal strategis dan penting, dan negara diwakili oleh PLN,” jelasnya.
Mulyanto juga memaparkan bahwa perhatian utamanya adalah TKDN, karena Komisi VII DPR tidak ingin produksi EBET ini menyebabkan ketergantungan baru Indonesia kepada impor. Tujuan Komisi VII DPR RI adalah untuk menjaga TKDN yang semakin hari semakin baik. Namun, dengan adanya kata fleksibilitas TKDN, hal ini berbahaya. “Tidak bisa fleksibel, harus jelas, tegas, dan terukur. Jadi untuk hal apa saja yang khusus yang perlu diatur kelonggaran. Kalau diberikan fleksibilitas, nanti di lapangan larinya kemana-mana. Ini berbahaya untuk TKDN kita,” paparnya.
Mulyanto berharap bahwa dengan keberadaan EBET, industri dalam negeri, khususnya di bidang kelistrikan, dapat diperkuat. “Kita berharap produksi EBET ini makin mengokohkan industri kita ke depan, kita gunakan kesempatan ini untuk betul-betul membangun industri kita di bidang kelistrikan,” harapnya.
Dalam raker tersebut, Ketua Komisi VII DPR RI Fraksi Nasdem, Sugeng Suparwoto, menyampaikan kesimpulan bahwa hasil Raker RUU EBET tidak lepas dari bingkai besar yang mencakup energi dengan berbagai imperatif yang ada di dalamnya. Pertama, Komisi VII DPR RI telah memahami penjelasan dari Perwakilan Pemerintah terkait substansi RUU EBET, antara lain: mekanisme nilai ekonomi karbon di sektor energi, substansi amonia sebagai salah satu sumber energi baru, pengutamaan produk dan potensi dalam energi atau TKDN, optimalisasi pemanfaatan EBET untuk kepentingan konsumen, dan urgensi pembentukan badan khusus pengelolaan energi terbarukan serta penggunaan dana EBET.
Perihal TKDN ini juga termasuk tentang kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) yang harus memenuhi persyaratan sebesar 60% untuk mobil listrik dan motor listrik, dan paling rendah sebesar 25%. TKDN ditentukan berdasarkan perbandingan antara harga barang jadi dikurangi harga komponen luar negeri terhadap harga barang jadi. Untuk TKDN itu sendiri ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian RI melalui verifikator, Badan Sertifikasi Nasional, dan lembaga sertifikasi lainnya. Peraturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 32 Tahun 2020. TKDN diwajibkan untuk industri, di antaranya industri logam, kelistrikan, kimia, pupuk, otomotif dan komponennya, keramik, semen, tekstil, serta produk industri kecil dan menengah (IKM). Sertifikat TKDN digunakan sebagai bukti legalitas nilai TKDN sebuah produk.
Sumber asli: https://nikel.co.id/2023/11/20/menteri-esdm-tujuan-tkdn-baik-tapi-harus-ukur-kemampuan-diri/