John mengisahkan betapa pentingnya peran guru dalam membangun bangsa dengan mengambil contoh dari Jepang pascaperang. Setelah kekalahan pada Perang Dunia II, Kaisar Hirohito tidak menanyakan jumlah tentara atau jenderal yang masih hidup, melainkan jumlah guru yang masih ada. Ia sadar, guru adalah kunci kebangkitan bangsa. Dari kesadaran itu, Jepang mengirim ribuan pemuda belajar ke luar negeri dan dalam satu dekade berhasil bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia.
Ia menegaskan, guru dalam budaya Jepang — dan seharusnya juga di Indonesia — adalah sosok yang sangat dihormati, ibarat cahaya yang menuntun orang keluar dari kegelapan. Kata *education* sendiri berasal dari bahasa Latin *e-ducare* yang berarti “mengantar keluar,” menjelaskan peran guru dalam membimbing murid mengenali dan mengaktualisasi potensi dirinya.
John memperluas pandangan dengan mengulas metafora “guru sebagai cahaya.” Guru bukan hanya pengajar pengetahuan teknis, melainkan sumber inspirasi dan kebijaksanaan yang menuntun murid melalui kerumitan hidup. Seperti mercusuar, guru mengarahkan murid pada penemuan, membangkitkan rasa ingin tahu, dan menumbuhkan semangat belajar.
Ia menekankan, pengaruh guru tidak hilang begitu saja. Ajaran dan keteladanan mereka meninggalkan kesan mendalam di hati murid-murid, membentuk sikap, keyakinan diri, dan aspirasi mereka. Guru menyalakan cahaya pengetahuan yang memungkinkan murid memperluas wawasan dan mengembangkan diri.
John menutup tulisannya dengan menegaskan bahwa guru bukan hanya pilar pendidikan, tetapi juga penyalur cahaya pengetahuan dan pembentuk karakter generasi masa depan. Peran guru adalah pengingat bahwa kemajuan bangsa selalu dimulai dari mereka yang sabar menyalakan terang di ruang-ruang kelas.
Sumber asli: https://www.balipost.com/news/2023/11/28/375511/Metafora-Guru-sebagai-Cahaya.html