Saat ini, Jokowi juga memerlukan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) dengan AS agar bahan-bahan dari Indonesia memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi besar bagi EV yang tersedia di bawah Inflation Reduction Act (IRA) dari pemerintahan Biden. Pada bulan September, Indonesia meminta Washington untuk memulai pembicaraan mengenai kesepakatan perdagangan terbatas yang mencakup input baterai EV seperti nikel dan kobalt.
Hasil dari pertemuan bilateral minggu lalu adalah komitmen untuk "mengembangkan rencana aksi mineral penting" dengan tujuan membangun fondasi untuk memulai negosiasi masa depan tentang perjanjian mineral penting. Pernyataan bersama tersebut mencakup beberapa petunjuk tentang apa yang diharapkan AS dari rencana aksi tersebut, terutama dalam hal standar Environmental, Social and Governance (ESG).
Namun, Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama dengan dominasi Cina di sektor produksi nikel. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah melakukan pembangunan besar-besaran di sektor nikel, dan saat ini menyumbang lebih dari separuh produksi nikel dunia. Dengan investasi dalam kapasitas pengolahan baru yang terus mengalir, pangsa tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi dua pertiga pada tahun 2032.
Meskipun demikian, semakin meningkatnya peran Indonesia dalam rantai pasokan logam baterai juga berarti semakin banyak pengawasan terhadap kredensial ESG-nya. Sebuah kelompok yang terdiri dari 19 organisasi lingkungan dan amal, termasuk Greenpeace, telah menyatakan keprihatinan bahwa kesepakatan apapun dengan Indonesia dapat membahayakan hutan, masyarakat adat, dan pekerja.
Indonesia berusaha untuk meningkatkan tata kelola sektor ini dengan mengumumkan rencana untuk memasukkan pengiriman nikel ke dalam sistem pelacakan online pemerintah. Namun, banyak masalah ESG yang lebih rumit, terutama karena sebagian besar nikel Indonesia memiliki jejak karbon yang besar akibat ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga batu bara.
Rintangan yang lebih sulit dihadapi adalah terkait dengan entitas asing. Meskipun kedua presiden mengakui pentingnya sektor nikel Indonesia, IRA tidak hanya memberikan kredit pajak bersyarat pada sumber domestik atau mitra FTA, tetapi juga mengecualikan input baterai yang berasal dari entitas asing yang menjadi perhatian (FEOC). Hal ini menjadi masalah besar bagi Indonesia, mengingat perusahaan-perusahaan Cina, seperti Tsingshan Group, telah menjadi pendorong utama produksi nikel di negara ini.
Sementara Indonesia menghadapi perundingan yang berjalan lambat, negara-negara lain bergegas memanfaatkan spektrum subsidi energi bersih IRA. Misalnya, Trafigura baru-baru ini menandatangani perjanjian investasi senilai 140 juta dolar AS dengan Korea Zinc untuk membangun kilang nikel di Ulsan, Korea Selatan. Korea Selatan memiliki keuntungan karena telah memiliki FTA dengan AS sejak tahun 2012, meskipun beberapa bagian dari rantai baterai EV di negara tersebut mungkin masih kesulitan untuk memenuhi syarat subsidi IRA.
Dengan tantangan yang dihadapi, Indonesia harus secara agresif membersihkan kredensial ESG-nya jika ingin menjadi salah satu pusat manufaktur ramah lingkungan di dunia dan memproduksi untuk pasar AS.
(Opini yang diungkapkan di sini adalah milik penulis, Andy Home, kolumnis Reuters).
Sumber asli: https://nikel.co.id/2023/11/23/mimpi-mobil-listrik-indonesia-di-amerika-serikat-as-bergeser-ke-jalur-lambat/