Dalam ekonomi Islam, terdapat enam benda ribawi yang disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW: emas, perak, gandum halus (bur), gandum kasar (syair), kurma, dan garam. Para ulama membagi benda-benda ini menjadi dua kelompok: emas dan perak (diqiyaskan dengan mata uang dan alat tukar modern) serta bur, syair, kurma, dan garam (diqiyaskan dengan semua bahan makanan yang bisa disimpan seperti beras atau jagung). Terdapat tiga aturan baku dalam transaksi benda ribawi. Pertama, jika tukar menukar dilakukan untuk barang sejenis (misal: emas dengan emas atau rupiah dengan rupiah), wajib hukumnya sama takarannya/nilainya dan dilakukan secara tunai. Kelebihan dalam transaksi ini dianggap riba. Kedua, jika barter dilakukan antar barang yang berbeda namun masih satu kelompok (misal: emas dengan perak atau rupiah dengan dolar), syaratnya wajib tunai, meskipun boleh berbeda takarannya/nilainya. Ketiga, jika barter dilakukan untuk benda yang beda kelompok (misal: jual beli beras dengan uang), tidak ada aturan khusus, sehingga boleh tidak sama dan boleh tidak tunai selama saling ridha.
Berdasarkan kaidah ini, tukar menukar uang receh yang disertai kelebihan (misal: Rp100.000 ditukar pecahan Rp5.000 dengan tambahan Rp10.000) termasuk dalam kategori riba karena merupakan transaksi uang sejenis yang tidak memenuhi syarat "sama nilai". Meskipun dilakukan dengan saling ridha, riba tetap haram hukumnya, karena melanggar aturan syariat. Alasan bahwa kelebihan itu adalah "upah penukaran uang" juga tidak dibenarkan, karena upah seharusnya didasarkan pada volume kerja, bukan nominal uang yang ditukar. Riba dianggap sebagai salah satu dosa besar dalam Islam, bahkan diancam dengan perang oleh Allah SWT dan disetarakan dengan perbuatan zina, yang dapat menggugurkan pahala ibadah, termasuk puasa.
Sumber asli:
https://www.datariau.com/detail/dakwah/pahala-puasa-sia-sia-karena-penukaran-uang-baru-lebaran--kok-bisa--begini-penjelasannya--