Intimidasi tersebut dilakukan oleh seorang yang mengaku sebagai polisi berpakaian sipil, yang meminta kedua jurnalis untuk menghapus foto dan video yang telah mereka ambil. Tindakan ini dianggap sebagai penghalangan terhadap kerja jurnalistik, yang melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Kejadian ini menunjukkan bahwa masih ada anggota kepolisian yang belum memahami dan menghargai kerja jurnalistik. Wartawan yang terlibat telah menjalankan tugas mereka sesuai dengan kode etik jurnalistik, menggunakan ID media, dan memperkenalkan diri sebelum melakukan peliputan. Oleh karena itu, tidak seharusnya ada larangan bagi jurnalis untuk meliput di tempat umum, terutama di markas wartawan.
Kronologi kejadian menunjukkan bahwa Raja Umar mendapatkan informasi tentang kedatangan Firli Bahuri dan segera menuju lokasi untuk meliput. Setelah memperkenalkan diri dan niatnya untuk wawancara, Umar diminta oleh pengawal Firli untuk tidak mengambil foto atau video. Ketika Umar menolak untuk menghapus foto, pengawal tersebut mengklaim haknya sebagai polisi untuk meminta penghapusan tersebut.
Kejadian ini juga melibatkan Nurmala, yang mengalami intimidasi serupa saat mencoba mengambil foto. Kedua jurnalis melaporkan insiden ini kepada rekan-rekan mereka di IJTI agar dapat meliput kejadian tersebut.
Sikap AJI Banda Aceh, PWI, dan IJTI Aceh menegaskan beberapa poin penting:
1. Mengutuk keras tindakan intimidasi terhadap Raja Umar dan Nurmala.
2. Meminta Mabes Polri untuk memberikan pemahaman kepada seluruh jajarannya tentang pentingnya menghormati kerja jurnalistik.
3. Meminta agar pelaku intimidasi dihukum.
4. Mengajak semua jurnalis untuk tetap berani menjalankan tugas sesuai kode etik jurnalistik.
5. Memberikan keputusan kepada redaksi Kompas TV dan Puja TV mengenai langkah hukum yang akan diambil, dengan dukungan dari IJTI, AJI, dan PWI.
Sumber asli: https://surabayaonline.co/2023/11/10/pernyataan-sikap-aji-ijti-dan-pwi-terkait-intimidasi-dua-jurnalis-tv-di-aceh/