Asvi menegaskan bahwa Soeharto melakukan kudeta merangkak, dimulai dari peristiwa 1 Oktober 1965 hingga akhirnya resmi menjadi Presiden pada tahun 1968. Ia menyebut rangkaian peristiwa antara 1965–1968 sebagai fase perebutan kekuasaan secara perlahan namun sistematis.
Salah satu strategi utama Soeharto adalah memundurkan jadwal Pemilu yang telah ditetapkan MPR dari 1968 menjadi 1971. Langkah ini memberi waktu tiga tahun bagi Soeharto untuk mengonsolidasikan kekuatan politik dan membangun infrastruktur kekuasaan, bukan hanya untuk menang, tetapi juga untuk melemahkan lawan-lawan politik.
Asvi juga mengungkap bahwa dalam masa persiapan Pemilu tersebut, Soeharto menyingkirkan sejumlah tokoh politik yang dianggap berbahaya, bahkan jika mereka sudah dipenjara, dengan memindahkan mereka ke lokasi yang jauh dari publik.
Rezim Orde Baru turut melakukan intervensi ke Partai Nasional Indonesia (PNI). Salah satu contohnya adalah penyingkiran Hardi dan pengangkatan Hadi Subeno sebagai Ketua PNI pada 1971. Namun, Hadi yang semula dianggap pro-pemerintah, kemudian menunjukkan sikap kritis terhadap Golkar. Tiga bulan sebelum Pemilu 1971, Hadi Subeno meninggal secara misterius pada 20 April 1971—peristiwa yang oleh Asvi dihubungkan dengan pola kekerasan politik yang juga terjadi di kalangan elite militer, seperti konflik antara Ali Moertopo dan Soemitro yang memicu Peristiwa Malari 1974.
Pemaparan Asvi menunjukkan bahwa rezim Soeharto tidak hanya menggunakan kekuatan formal, tetapi juga menggunakan siasat dan represi politik untuk melanggengkan kekuasaan di era Orde Baru.