Putrayasa, yang merupakan lulusan ISI Denpasar, menjelaskan bahwa masyarakat saat ini cenderung mengabadikan setiap momen melalui media sosial, dan kehadiran patung sebagai ikon dapat memberikan nilai tambah pada setiap peristiwa yang diabadikan. Meskipun pemasaran patung sempat mengalami kesulitan, seniman berhasil beradaptasi dan terus berkarya, sehingga pesanan kembali berdatangan setelah pandemi berlalu.
Pemilik Rich Stone Art Space ini memiliki beberapa segmen dalam memasarkan karyanya, mulai dari kelas bawah, menengah, hingga atas. Ia juga menerapkan subsidi silang dalam berkesenian, melibatkan banyak artisan dalam proses berkarya, yang tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karya-karyanya dikoleksi untuk berbagai kepentingan, baik personal maupun untuk dipajang di ruang publik.
Putrayasa menekankan pentingnya kreativitas dan kemampuan menangkap peluang dalam berkesenian, mengingat seni sering kali menghadirkan ketidakpastian. Ia juga mengakui bahwa seniman sering terjebak dalam rutinitas yang dapat menghambat kreativitas. Dalam berkarya, ia berani mengeksplorasi berbagai media, tidak hanya batu dan beton, tetapi juga logam dan bahan lainnya, dengan menghadirkan karakter konkret dari media yang digunakan.
Karya-karya Putrayasa tidak hanya menarik dari segi penampilan luar, tetapi juga memiliki struktur dalam yang berfungsi sebagai elemen artistik dan estetik. Ia dikenal dengan karya monumental yang sarat kritik sosial, seperti "Giant Octopus" yang terbuat dari anyaman bambu pada Mei 2019, serta instalasi seni "Pandora Paradise" yang dibuat pada Desember 2020 selama pandemi, yang dipajang di titik nol kilometer Kota Denpasar.
Sumber asli: https://www.balipost.com/news/2023/10/07/366506/Seniman-Mesti-Cerdas-dan-Kreatif...html