Meskipun semua merasakan sakit, perbedaannya terletak pada cara menghadapinya antara kaum mukmin dan pendosa. Orang zalim/pendosa akan dilanda keterkejutan, perlawanan, dan penyesalan yang terlambat, sehingga rasa sakitnya semakin dahsyat. Sementara itu, kaum mukmin dengan kualifikasi tertentu akan menghadapinya dengan tenang dan ridha, menganggapnya sebagai ujian terakhir, penebus dosa, atau sarana untuk menaikkan derajat di sisi Allah. Ketenangan jiwa ini, sebagaimana digambarkan dalam QS Al-Fajr 27-30, menjadikan mereka dipanggil sebagai "jiwa yang tenang" dan dijemput oleh malaikat dengan lembut, berbeda dengan perlakuan kasar terhadap pendosa yang dijemput oleh malaikat berwajah buruk. Ridha inilah yang menjadi kunci keringanan rasa sakit dan kedekatan dengan Allah, yang hanya bisa dicapai melalui proses panjang dan ujian hidup yang berat.
Sumber asli: https://surabayaonline.co/2024/03/25/wahai-jiwa-yang-tenang/